Pages

Tuesday, November 19, 2013

[Curhat] Sekolah (bukan) sebuah Organisasi Nirlaba

Sebelumnya ini adalah sebuah curhat galau orang tua, yang tidak berdaya secara ekonomi dan power. Ini murni pengalaman saya, yang sempat tidak dapat tidur berhari-hari dibayangi tekanan emosi yang cukup berat untuk saya. Kerepotan saya karena krn keterbatasan keuangan, keterbatasan tempat, dan status sebagai foreigner yang membuat kami tidak mudah membuat sebuah pilihan

Sekolah pilihan

Alasan saya dulu memilih sekolah anak saya 

1. Good environment (dalam hal ini saya memilih sekolah dengan isi murid-murid yang baik, tidak bergaya borjuis, masih kental dengan nilai kebersamaan, saling menghormati)

2. Affordable price (suami yang bekerja sebagai tenaga IT tidak memiliki kemewahan layaknya para ekspat Indonesia yang bekerja sebagai oil engineer yang mendapat gratis biaya sekolah anak-anak sehingga bisa memasukkan ke sekolah dengan biaya min 120 jt/tahun saat itu)

Keinginan saya memasukkan anak di sekolah swasta yang terjangkau, memiliki kelas kecil, sebenarnya karena saya takut anak-anak mendapat bullying di sekolah. Mengingat jaman dulu sering mendengar curhat beberapa teman yang anaknya pendapat perlakuan yang kurang nyaman di sekolah milik pemerintah. Kebijakan sekolah waktu itu bahwa school fee akan tetap seperti yang dikenakan di awal masuk, membuat saya lega, paling tidak saya merasa mampu menyekolahkan anak sampai lulus SD di tempat tersebut. Tetapi kemudian terjadi hal yang menyedihkan, manajemen berganti, kepemilikan berpindah, jadi kebijakan di awal menjadi tidak berlaku, tepat di tengah tahun kedua anak saya bersekolah disana.

credit

Kenaikan School fee tanpa kenaikan fasilitas dan kualitas

Berubahnya kepemilikan mengimbas pada kenaikan uang sekolah. Awal anak saya masuk kelas 1 school fee yang harus dibayar sekitar RM 4000 setahun atau setara Rp. 12 jt setahun. Perubahan manajemen membuat keputusan menaikan sekitar 30% dari school fee, sedikit kaget terkejut tapi saat itu saya masih berpikir okelah kita potong pengeluaran yang lain. Tapi kenaikan tidak berhenti disitu, setiap tahun naik 10-20%dan sekarang untuk awal kelas 6 SD school fee yang harus dibayar menjadi RM 11,800 atau setara rp Rp. 36 juta/tahun. Bisa dibayangkan bahwa kami menjadi dalam posisi tidak mampu lagi karena 2 anak berarti biaya yang harus kami keluarkan adalah Rp 72 jt setahun. Planning awal menjadi berantakan, luluh lantak hati ini.

Kenaikan school fee dari tahun ke tahun ini tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas, bahkan untuk tahun ini lulusan SD hanya 3 orang saja yang mendapat 5A (tanpa mengambil advanced mandarin yg 7A) Sudah jelas penurunan quality justru membayangi karena di tahun sebelumnya ada setidaknya 7-10 org straight A *sedih*. Begitupun dengan fasilitas, tetap tidak ada perubahan yang berarti. Sedihnya setelah join grup yg membahas sekolah, hanya sekolah dengan school fee minimum RM 25K untuk local kurikulum dan RM 40 K untuk internasional yang benar-benar bisa menyerahkan anak2 untuk dididik secara akademis di sekolah

What I need to do???

Kebingungan jelas melanda hati, hampir sebulan lamanya tekanan mental mendera kami berdua, hingga badan menjadi rentan sakit. Jujur posisi keuangan sudah mencapai titik kritis, karena untuk membayar sekolah sudah menggunakan tabungan, yang jelas kalau berlanjut kami tahu kami tidak akan bisa membiayai kuliah anak2 *cryingggg* Beberapa saran dari teman 

1. Sekolah di Indonesia

Jujur kalau ada yg memberikan saran ini saya malah tambah kalut, karena saya tidak mungkin membiarkan anak saya tinggal dg nenek kakek atau saya membiarkan suami bekerja sendiri di rantau. Maklum kondisi suami dengan diabetes, saya setiap hari harus mengawasi pola makannya, dan berpisah dengan anak bakal membuat saya juga patah hati hebat.
Belum lagi anak-anak yang memiliki kemampuan bahasa Indonesia yang sangat terbatas, hanya percakapan simpel saja, bahkan anak saya yang laki2 kalau disuruh chat dengan sepupunya menyerah, karena kesulitan berbahasa. Plus beda tahun ajaran disini januari Indonesia Juli, jadi tidak sekolah 6 bulan :(

2. Sekolah kebangsaan

Ini juga tidak mudah, karena mereka membatasi foreigner yang masuk. Kita tidak dapat memilih sekolah, aplikasi bisa ditolak dan repotnya kabar diterima atau ditolak diterima setelah sekolah sdh berjalan *crying again*
Selama bulan November ini saya sangat galau, maunya mendaftar di sekolah kebangsaan, di dekat kantor suami 38 km dari sini, mesti jg pindah kontrakan. Tapi ternyata cari info setelah withdrawal kami tidak bisa balik ke sekolah lama kalau tidak diterima, padahal anak sulung sudah kelas 6 waktunya ujian akhir. Juga pendaftran dibuka hanya bulan okt, saat itu tinggal 1 mgg terakhir, tdk cukup waktu. Akhirnya kami menyerah bertahan sementara dan mengalihkan bea mudik yg biasanya sekitar Rp 20 jt utk 2x mudik diguakan untuk membayar sekolah, semoga tahun 2015 bisa mendapat sekolah, 


Cobaan belum berakhir (mesti berlaku seperti homeschooler)

ternyata cobaan belum berakhir, tepatnya sehari sebelum hari terakhir sekolah ada pengumuman, kelas lokal dihapus *nangis guling2* karena punya pengalaman buruk dengan kelas internasional, alasan sudah tidak profitable lagi alias mau menaikkan fee lebih banyak

Sistem pendidikan internasional tidak cocok untuk si bungsu, karena 2 tahun di kelas internasional, dia sama sekali tidak bisa menulis, nilai yang didapat berkisar 30-50 dari skala 100 dan itu tidak hanya terjadi pada anak saya. Model soal cambridge adalah uraian panjang-panjang, tanpa kemampuan menulis jelas merupakan petaka buat anak, saya tidak bisa membayangkan berapa nilai anak nantinya diluar subject matematika. Selama 1 tahun di kelas lokal nilainya baru membaik sedikit sekarang harus kembali memakai tata cara internasional. Pedihnya lagi karena rencana 2015 saya akan pindahkan ke sekolah lokal jadi sibungsu bener2 1-2 (internas) 3 (lokal) 4 (internas) 5 -6 (lokal-rencana) jadi tidak belajar berkesinambungan hiks.... (semakin merasa bersalah)

Protess??? Sudah... dan jawaban mereka hanya masalah uang dan uang. mereka tidak peduli bagaimana anak didik itu nantinya. Seperti dikhianati rasanya hiks, mempercayakan anak ke mereka.
Untuk menghadapi ini sepertnya benar-benar tidak dapat memutuskan untuk menyerahkan anak ke sekolah (tau kualitasnya begitu), jadi setiap hari benar2 harus mendampingi anak belajar dari a-z, menjadi guru di rumah dan harus meluaskan samudra kesabaran huhuuhu.Selalu ingin memberikan terbaik walaupun dalam keterbatasan, Doain saya ya mak....


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...